HANYA Ibu Ini Yang Berani Bilang Sekolah Itu Tempat Belajar, Bukan Berkompetisi, Sistem Ranking Racun Dunia Pendidikan,Simak Sosok Dia

Advertisement

HANYA Ibu Ini Yang Berani Bilang Sekolah Itu Tempat Belajar, Bukan Berkompetisi, Sistem Ranking Racun Dunia Pendidikan,Simak Sosok Dia

Sabtu, 10 April 2021

 

Belajardirumah.org - Sekolah adalah tempat belajar. Bukan arena kompetisi. Namun kenyataannya, siswa kerap "dipaksa" berlomba mengejar peringkat kelas. 


Persaingan itu bahkan sudah terjadi sejak awal masuk sekolah dasar. Target dan beban yang berat akhirnya banyak membuat anak-anak kehilangan senyum mereka. 


Video seorang ibu di Berau, Kalimantan Timur, yang viral beberapa waktu lalu, menyentak kita semua. 


Di video itu, sang ibu terlihat begitu emosi dan membentak-bentak gadis kecilnya yang berseragam pramuka. Duduk, gemetaran dan tersedusedu, sambil memegang buku rapor bersampul hijau. 


Ibu itu sangat murka, karena sang gadis kecil, siswa salah satu SD di kota itu, "hanya" meraih ranking 3. Sontak video viral itu menuai kecaman. 


Para ahli pendidikan, psikolog maupun lembag perlindungan anak mengecam keras. Mereka berteriak, sistem ranking di sekolah sudah kebablasan, dan saatnya dihapuskan. 


Dr Adi Gunawan, founder Institute of Mind Technology dalam bukunya "Apakah IQ Anak Bisa Ditingkatkan" (2005), mengungkapkan, sistem ranking itu tidak adil dan berbahaya bagi perkembangan konsep diri anak. 


Karena yang menjadi patokan selalu nilai rata-rata semua mata pelajaran. Dr Adi membuat perumpamaan, jika sebuah kelas terdiri dari 40 anak, semakin rendah rankingnya berarti semakin bodoh anak itu. 


Maka seorang anak akan berpikir secara linier dan cenderung langsung melabel dirinya bodoh, karena berada di ranking bawah. 


Akibatnya,anak bisa menjadi minder dan tambah malas belajar. Bahkan bisa pula menjadi korban bullying. Padahalnya, riil-nya, setiap anak itu unik dan punya cara belajar berbeda pula. 


Sumber daya dan kemampuan siswa dalam belajar pun berbeda. Sangatlah tidak adil jika memukul rata kemampuan siswa. 


Bagi yang bisa ikut les bermacam pelajaran dan tercukupi gizinya, akan berbeda dengan siswa yang kurang memiliki waktu belajar. Karena, misalnya, siswa tersebut harus membantu pekerjaan orang tuanya. 


Begitu pula bagi anak yang "langganan" juara kelas. Menjadi seorang bintang kelas bisa terbebani secara psikologis, karena dituntut harus selalu menjadi rangking satu. 


Tuntutan bisa jadi dari orang tuanya, maupun internal dirinya sendiri. Timbul rasa malu kalau harus turun peringkat. 


Itu dapat memicu terjadinya tindakan negatif. Model pola pikir yang masih sangat belia pada diri anak, memberinya peluang melakukan berbagai cara demi meraih ranking. 


Mencontek, mencari bocoran soal,misalnya, adalah contoh tindakan negatif yang mungkin saja akan dilakukan anak. Dr Adi Gunawan menyebutkan, hal itu memunculkan fenomena saat ini, makin banyak orang pandai, tetapi kejujuran justru menurun. 


Fakta ini membuktikan, kepandaian yang tidak diimbangi tingkat spiritualitas yang baik dan kecerdasan emosional yang stabil, cenderung merugikan orang lain maupun diri anak sendiri. 


Howard Gardner, profesor pendidik dan peneliti dari Harvard University, Amerika Serikat mengungkapkan, ada 9 aspek kecerdasan dari seorang anak, yang kerap disebut multiple intelligences. 


Yaitu kecerdasan musikal, intrapersonal, interpersonal, visual spasial, naturalis, kinestetik, moral, verbal linguistik, dan logika matematika. 


Seorang anak bisa jadi memiliki satu jenis kecerdasan yang dominan, atau bahkan memiliki beberapa jenis kecerdasan sekaligus (kecerdasan majemuk). Oleh karena itu, setiap anak memiliki cara belajar sendiri sesuai dengan jenis kecerdasan yang dominan pada dirinya. 


Kreativitas Lebih Penting Negara tetangga kita, Singapura, tahun lalu secara mengejutkan telah menghapus sistem ranking pada konsep baru pendidikan mereka. 


Padahal Singapura telah lama dikenal sebagai salah satu negara dengan kualitas pendidikan terbaik dunia. Mumpuni dalam hal mencetak siswa berprestasi tinggi. 


Singapura juga terkenal sangat mendukung pembelajaran hapalan, dan punya jam belajar yang panjang, untuk mendorong anak-anak sekolah di sana sukses menjalani ujian. 


Mengutip laman WeForum.org dan Straitstimes.com, selain menghapus sistem ranking dalam rapor siswa, ke depan, pendidikan di Singapura akan lebih ditekankan pada kemampuan dan pengembangan karakter siswa serta keterampilan teknologi. 


"Belajar bukan kompetisi!" tegas Ong Ye Kung, Menteri Pendidikan Singapura. Ong Ye Kung menegaskan, perubahan konsep pendidikan ini diyakini dapat mengalihkan fokus, dari tuntutan kesempurnaan nilai ujian, pada upaya menciptakan individu yang lebih baik. 


Sistem pendidikan Singapura akan memprioritaskan pengembangan kreativitas, kemampuan memecahkan masalah, penguasaan teknologi, entrepreneurship dan kepercayaan diri. 


Baca Juga : SIAP - SIAP ! Mulai 1 Februari 2021, Pemerintah Pungut Pajak Pulsa HP, Voucher Belanja, Hingga Token Listrik, Cek Besaranya Disini!


Baca Juga : SAH! ATURAN Baru PPG 2021 Untuk 2 Juta Guru, Tidak Ada Kuota dan TIDAK PERLU Meninggalkan Sekolah, Alhamdulillah


Karakter generasi seperti itulah, menurut Ong Ye Kung, yang dibutuhkan Singapura di masa depan. Bukan lagi sekadar mengejar nilai dan angka. 


Fisikawan terbesar dunia, Albert Einstein, pernah mengatakan, bahwa semua anak itu jenius. 


Tapi jika anda menilai seekor ikan, dengan kemampuannya memanjat pohon, maka ia akan menjalani hidupnya dengan percaya bahwa dia bodoh. Jadi sudah saatnya hapuskan sistem rangking di sekolah.***


Sumber: https://riaupos.jawapos.com/

Demikian info yang dapat kami sampaikan.